Saya sering mengklaim diri sebagai “professional communicator” (komunikator profesional). Banyak yang bertanya, apa sih yang dimaksud dengan professional communicator? Apakah karena berprofesi “borongan”, ya wartawan, penulis, penyiar, jadi dosen luar biasa juga, lantas disebut professional communicator?
Istilah professional communicator memang tidak atau belum populer. Meskipun profesi ini sebenarnya sudah dijalani banyak orang. Bisa jadi, orang yang menjalaninya pun belum sadar bahwa dirinya adalah professional communicator.
Secara harfiyah, professional communicator adalah orang yang berkomunikasi secara profesional, cakap atau mahir berkomunikasi, atau orang yang menjalani profesi/pekerjaan sebagai komunikator.
Dengan pengertian demikian, maka wartawan, penyiar, broadcaster, editor, dan penulis adalah professional communicator. Nah, karena saya juga demikian –ya wartawan, penyiar, editor, penulis juga, maka udah aja saya ringkas menjadi professional communicator. Dengan catatan, saya belum menemukan media yang benar-benar tepat bagi saya untuk aktualisasi sebagai professional communicator, sehingga belum bisa benar-benar berkonsentrasi, fokus, di sebuah media yang “menjamin kemakmuran hidup” saya. Ada investor yang minat? (He he.. self-promotion neeh…!)
Secara ilmiah, istilah professional communicator dapat ditemukan dalam kajian atau bidang studi komunikasi, khususnya komunikasi politik (political communication) dan komunikasi massa (mass communication). Misalnya, dalam buku Komunikasi Politik (1989) kaya Dan Nimmo, disebutkan bahwa professional communicator adalah salah satu aktor komunikasi politik, selain politisi itu sendiri dan aktivis parpol atau lembaga politik lainnya.
Disebutkan, professional communicator adalah orang-orang yang mencari nafkah dengan berkomunikasi atau karena keahliannya berkomunikasi. Ia adalah peranan sosial (social role) yang relatif baru. Ia muncul sebagai “produk sampingan” revolusi komunikasi berupa munculnya berbagai media massa dan media khusus, seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dan sebagainya yang menciptakan “publik baru” untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan.
Menurut pakar komunikasi, James W. Carey (dalam Nimmo, 1989), professional communikcator adalah “makelar simbol”, yakni orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti.
Dengan demikian, professional communikator adalah “orang-orang media” atau “insan pers”, seperti news producer, editor, reporter, wartawan, redaktur, dan bagian teknis, yang mengorganisasi, mengedit, dan menyebarkan informasi, hiburan, drama, dan bentuk isi media yang lain. Umumnya mereka ada di rumah produksi (production house), perusahaan, atau biro iklan.
Secara khusus, professional communicator juga adalah orang yang menangani urusan media (media/press relation, penerbitan, dll.) seorang kandidat. Saya pernah alami menjadi bagian dari tim sukses bidang media seorang kandidat presiden (‘gak usah disebutin ya, takut “diusut” KPK dan KPU, he he…), dengan menjadi managing editor majalahnya (wah, ketahuan deh nanti…).
Benar, saya harus bolak-balik Bandung-Jakarta saat itu. Dalam Pilgub Jabar 2008 lalu, saya juga diminta menjadi “kolomnis” di sebuah media kampanye seorang kandidat. Di kedua tim sukses tersebut, syarat dari saya: saya bekerja secara profesional, semata-mata sebagai “komunikator pro”.
Professional communicator juga berlaku di dunia bisnis. Istilah spesifiknya “komunikator bisnis” (business communicator). Mereka memformulasikan dan menyebarkan pesan-pesan komersial sebuah perusahaan atau produk.
Bahkan, asosiasi internasional komunikator bisnis, the International Association of Business Communicators (IABC), menyusun sebuah kode etik bagi komunikator profesional (Code of Ethics for Professional Communicators). Kode etik ini disusun, menurut IABC dalam situsnya, mengingat ratusan bahkan ribuan komunikator bisnis di seluruh dunia melaksanakan aktivitasnya yang mempengaruhi kehidupan jutaan orang dan mereka memiliki tanggungjawab sosial.
Berdasarkan prinsip “Professional communication is legal, Professional communication is ethical, and Professional communication is in good taste”, IABC menyusun 12 poin kode etik, antara lain menyebutkan, komunikator bisnis atau komunikator profesional harus jujur, akurat, peka terhadap nilai-nilai budaya dan keyakinanan masyarakat, fair, taat hukum dan peraturan yang berlaku. (www.romeltea.com).*
0 komentar:
Posting Komentar